Jumat, 05 Desember 2008

PERADI VS KAI

PERADI VS KAI


Perseteruan PERADI [Perhimpunan Advokat Indonesia] dan KAI [Kongres Advokat Indonesia] semakin jauh dari penyelesaiannya. Keduanya mengklaim sebagai wadah tunggal Advokat yang sah yang dibentuk berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).

Perdebatan tentang wadah tunggal Avokat sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1963, saat para senior Advokat mendirikan Perhimpunan Advokat (Peradin). Mengapa para Advokat tidak bersatu dalam profesi Advokat yang mempunyai wadah tunggal sebagai konsekuensi para Advokat Pejuang Hukum tidak menopang berdirinya Negara Indonesia Merdeka yang sejak awal berbentuk negara Hukum? Bukankah Advokat Pejuang telah dibuktikan oleh Mr Sastro Muljono, Mr Ishak, Mr Maramis, Mr Moh Yamin, Loekman Wirijadinata, Yap Thian Hiem?

Bukankah Bung Hatta dibela oleh Advokat-advokat yang Genius tatkala diadili di Negeri Belanda? Bukankah Bung Karno dibela Indonesia Vriy oleh para Advokat anti kolonial tatkala memperjuangkan ide Indonesia merdeka dikenal sebagai ‘Indonesia Menggugat’? Bukankah kewajiban para Advokat mengisi kemerdekaan tatkala Negara telah didirikan dengan segala pengorbanan oleh Founding Fathers? Karenanya patut bersyukur bahwa kita telah memiliki Bapak-bapak Advokat yang telah membuktikan karya-karya nyatanya dalam perjuangan bangsa, negara dan tanah air.

Siapa “Organisasi Advokat” itu?
Sumber perdebatan tentang wadah tunggal organisasi advokat sebenarnya berpangkal pada Bab X UU Advokat yang mengatur tentang Organisasi Advokat. Persoalannya adalah bab yang terdiri dari tiga pasal tersebut (Pasal 28-30) tidak menjabarkan secara jelas “siapa” yang dimaksud dengan Organisasi Advokat. Menurut rumusan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Penjelasan pasal ini hanya mencantum rumusan “Cukup jelas”.

Ketidakjelasan rumusan tersebut membuat banyak pihak berspekulasi apakah yang dimaksud Organisasi Advokat tersebut adalah PERADI atau KAI atau ada nama lain? Menurut salah seorang pakar hukum perundang-undangan Maria Farida Indra Suprapto pada saat memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “kalau dilihat dalam Undang-Undang Advokat, ditekankan berulang-ulang paling sedikit 36 kata ”Organisasi Advokat”. Oleh karena itu, seharusnya yang terbentuk adalah Organisasi Advokat, sehingga menurut ahli tidaklah tepat jika sebutannya adalah Peradi”.

Pendapat tersebut mungkin terlalu sumir dan leterlecht. Namun UU Advokat juga tidak dapat memberikan formulasi yang jelas mengenai nama organisasi advokat yang dimaksud. Nampaknya UU Advokat ingin memberikan kebebasan kepada Advokat untuk menentukan nama organisasinya sendiri.

Bagaimana Mekanisme Pembentukan Organisasi Advokat?
UU Advokat tidak menentukan bagaimana mekanisme pembentukan organisasi advokat, apakah melalui sebuah musyawarah, kongres, atau mekanisme lainnya. Dalam Pasal 32 ayat (4) UU Advokat hanya ditentukan bahwa “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk”.

Ketentuan ini tentunya yang membuka potensi konflik antara PERADI dan KAI. Menurut KAI, pembentukan PERADI tidak sah, karena tidak dibentuk berdasarkan musyawarah nasional dan telah melewati batas waktu 2 tahun, yakni pada tanggal 5 September 2005. PERADI pun beralasan bahwa pembentukan KAI pun tidak sah, karena pembentukannya tidak melalui 8 organisasi advokat yang termaktub dalam UU Advokat dan melebihi batas waktu yang ditentukan UU Advokat, yakni 31 Mei 2008.

Berdasarkan Akta Pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia No. 30 tanggal 8 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Buntario Tigris Darmawa Ng, SE., SH., MH. (“Akta Pendirian”), PERADI terbentuk pada tanggal 21 Desember 2004, bukan pada 5 September 2005 sebagaimana dituduhkan KAI. Dengan demikian, syarat 2 tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 32 ayat (4) UU Advokat telah dipenuhi oleh PERADI.

Disamping itu, berdasarkan Pasal 32 ayat (3) UU Advokat, sebelum terbentuknya Organisasi Advokat, untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Apabila dikaitkan dengan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembentukan organisasi advokat harus dilakukan oleh 8 organisasi advokat. Dengan demikian, pembentukkan PERADI pun telah sah, karena Akta Pendirian PERADI telah dibuat oleh 8 organisasi advokat yang mendapat mandat dari UU Advokat.

Putusan Mahkamah Konstitusi
Eksistensi PERADI semakin diakui pasca keluarnya Putusan MK No.014/PUU-IV/2006. Permohonan pembatalan Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat yang diajukan oleh H. Sudjono, S.H, Drs. Artono, S.H., M.H., dan Ronggur Hutagalung S.H., M.H. dari IKADIN ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam Putusan MK No. 014/PUU-IV/2006 halaman 57, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai berikut: “bahwa Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Selain itu, Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada Mahkamah yang oleh Mahkamah dalam Putusannya Nomor 019/PUU-I/2003 telah dinyatakan ditolak”.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebenarnya telah jelas bahwa PERADI adalah satu-satunya wadah/organisasi Advokat yang dibentuk berdasarkan UU Advokat. Oleh karenanya, mengkhawatirkan keberadaan KAI sebagai competitor PERADI adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi, Mahkamah Agung RI sudah menerbitkan edaran nomor 07/SEK/01/I/2007 tanggal 11 Januari 2007 tentang kewajiban penggunaan Kartu Tanda Pengenal Advokat PERADI untuk berpraktik di Pengadilan.


Wahyu Gumilar
BUDIDJAJA & ASSOCIATES

Senin, 01 Desember 2008

Religious freedom is not without limits

Religious freedom is not without limits

Sigit Ardianto , New York | Tue, 11/25/2008 11:26 AM | Opinion

Indonesia has a unique position in today's civilization. As a country with the largest Moslem population in the world -- encompassing 86.1 percent of the total Indonesian population of more than 230 million -- Indonesia is also the third largest democratic country in the world after India and the United States.

The absence of any reference to Islam in the 1945 Constitution shows that Indonesia is open to all religions besides Islam. This is emphasized by Article 29 (2) of the 1945 Constitution which states that, "The state guarantees each and every citizen the freedom of religion and of worship in accordance with his religion and belief", which is reinforced with Article 28E paragraph (1 ). This religious freedom clause is symmetrical with the guarantee given by the First Amendment of the Constitution of the United States, which stipulates, among others, the following: "Congress shall make no law respecting an establishment of Religion, or prohibiting the free exercise thereof ...."

In the context of religious freedom in the United States, the First Amendment means that not only is its government prohibited from limiting religious freedom, it is also forbidden to endorse a particular religion. Prohibition in the sentence, "Congress shall make no law respecting an establishment of Religion ..." is better known as the nonestablishment principle. This clause is what distinguishes Indonesia from the United States, i.e., Indonesia's 1945 Constitution does not prohibit its government from supporting a particular religion. However, this provision also places Indonesia in between secular and theocracy poles, with the pendulum swinging still.

Disputes arise when we are required to provide limits on the extent to which religious freedom is guaranteed. When the Ahmadiyah case surfaced, the question which had been limited to academia and liberal activists spread to all levels of society.

One of the central teachings of the Ahmadiyah (mainstream) is a recognition of Mirza Gulam Ahmad as a prophet (irrespective of their defense on this). These teachings are considered contrary to the teachings of Islam in which the Prophet Mohammed is the last prophet. Ahmadiyah's claim therefore caused restlessness in the society, and for some people, constituted an insult to Islam because (as if) it does not recognize Mohammed as the last prophet.

In response to this issue, which has escalated into horizontal conflicts in some regions -- including Jakarta -- the government (finally) intervened and issued the Ahmadiyah Joint Decree, but the decree itself shows that the government bowed to negative public opinions about Ahmadiyah.

The Ahmadiyah Joint Decree raised the question as to whether or not there is a limit to a guarantee of religious freedom. The answer will only be known when we look at an extreme example. For example, many countries will not protect religious teachings which include human sacrifice or invite its followers to commit suicide.

Restrictions on freedom of religion have actually been given in the 1945 Constitution, Article 28J Paragraph (2), which states, "In exercising their rights and freedom, every person is subject to limitation set by law with the purpose of solely to guarantee the recognition and respect over the rights and freedoms of others and to meet the demands of justice in accordance with morality, religious values, security and public order in a democratic society."

Following the seemingly prevailing argument on limitations, the defenders of religious freedom can also argue that the government should not issue policies that limit the rights of particular religious groups to protect the religious feelings of others (although a majority) as in the case of the Ahmadiyah Joint Decree.

However, as mentioned above, our current Constitution does not prohibit the government from making a policy that favors or supports a particular religion that may have a side effect of "limiting" other religions or beliefs, as shown by the Ahmadiyah Joint Decree.

Constitutionally, religious freedom in Indonesia can be restricted.

The writer is Master in Law Candidate, Comparative Legal Thought Program at Cardozo School of Law, New York.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2008/11/25/religious-freedom-not-without-limits.html