Kamis, 27 November 2008

BANTUAN LIKUIDITAS PERBANKAN

posted by richiaprian, richiaprian.blogspot.com


Pengantar
Black law dictionary memberikan pengertian bahwa “Mortage is an interest in land created by a written instrument providing security for the performance of a duty or the payment of a debt” atau dapat kita simpulkan bahwa mortage merupakan suatu instumen hutang antara peminjam dan pemberi pinjaman yang didalamnya terdapat suatu penyerahaan mengenai hak atas benda.

Pada dasarnya Mortage terbagi menjadi prime mortage dan subprime mortage[1] . Yang membedakan antara keduanya terletak pada resiko, dimana resiko pada subprime mortage lebih besar sehingga dikenakan tingkat bunga yang juga lebih besar bila dibandingkan dengan prime mortage.

Amerika Serikat pada tahun 2001-2004 mengambil kebijakan penerapan suku bunga bank central yang rendah pada posisi 1-1,75 persen[2]. Sehingga pemberian kredit perumahan mengalami masa-masa emasnya. Sayangnya pihak mortage lenders mengenyampingkan prinsip 5 C dalam memberikan kreditnya dengan pandangan bila gagal bayar lender tinggal melakukan penyitaan dan menjual kembali rumah yang dikreditkannya. Dan untuk mendanai kredit tersebut, Lender pada umumnya meminjam pada pihak lain dananya sebagai pinjaman jangka pendek sedangkan kredit yang diterbitkan lender adalah pinjaman jangka panjang. sehingga pada pertengahan 2004, bank central Amerika Serikat meningkatkan tingkat suku bunga hingga pada agustus 2007 tingkat suku bunga menjadi 5,25%[3]. Kenaikan ini mengakibatkan terjadinya gagal bayar secara besar-besaran pada kredit perumahan, sehingga lender pun gagal membayar hutangnya kepada pihak ketiga. Sedangkan aset rumah yang disita tidak mudah untuk dijual kembali. Hal ini diperburuk dengan tindakan pihak ketiga yang melikuidasi investasinya sehingga terjadinya Credit Crunch pada saat lender juga membutuhkan likuidasi. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai penyebab utama terjadinya krisis subprime mortage.

Krisis subprime mortage di Amerika Serikat telah menelantarkan banyak pihak. Indeks saham yang diperdagangkan mengalami kemerosotan, terjadinya kredit macet di sektor perumahan dan instrumen efek beragun aset di pasar keuangan pun mengalami kemerosotan tidak hanya di Amerika tetapi juga di kawasan Eropa dan Asia khususnya Jepang karena perbankan jepang sangat agresif dalam berinvestasi pada produk yang mempunyai pasar luas di Amerika Serikat.

Efek global ini lah yang mengakibatkan negara-negara dunia mengambil langkah-langkah bantuan likuiditas di sektor perbankan, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, kita akan melakukan perbandingan antara langkah bantuan likuiditas yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat.

Bantuan Likuiditas Perbankan Indonesia
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, tidak hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan perbankan dan sistem pembayaran.
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah[4]:

Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut Inflitation targeting framework.

Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.

Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.

Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.

Dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort. Bank Indonesia memberikan bantuan likuidasi bank indonesia atau yang lebih sering dikenal dengan BLBI guna membantu bank-bank umum yang tidak memenuhi giro wajib minimumnya dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia.

Pada saat krisis moneter tahun 1997-1998, Bank Indonesia menyalurkan BLBI mencapai Rp 144,54 Triliun yang dikategorikan menjadi beberapa kebijakan, yaitu :
1. BLBI ditujukan untuk mengatasi kesehatan likuiditas bank, yaitu saldo debet, SBPUK, dan fasilitas diskonto sebesar Rp. 129,40 Triliun,
2. Dalam rangka pembayaran seluruh sisa dana masyarakat pada 116 bank dalan Likuidasi dan Beku Operasi sebesar Rp. 6,015 Triliun,
3. BLBI merupakan dana talangan untuk pembayaran tunggakan trade finance kepada kreditur luar negeri sebesar Rp. 9,13 Triliun.

Bagi bank-bank yang tidak sehat, sebagai upaya penyelamatannya diupayakan untuk digabung, akuisisi ataupun merger dengan bank-bank yang sehat. Sedangkan untuk bank-bank yang sehat akan dibantu oleh pemerintah dalam menyediakan likuiditasnya.

Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam kerangka JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada prinsipnya Departemen Keuangan bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.

Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang JPSK yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.

Menghadapi krisis sektor perbankan saat ini, Bank Indonesia menurut Miranda S Gultom selaku Deputi senior Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa BI telah menyiapkan liqiuduty support yang dapat digunakan sebagai sarana penyelamatan sector perbankan di Indonesia. Dan juga dengan memberikan kelonggaran melalui peraturan bank Indonesia yang merubah giro wajib minimum BI juga akan memperluas repurchase agremeent (repo) surat berharga, yang berupa surat utang negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Aturan itu juga memperkuat fungsi bank sentral sebagai the lender of the last resort guna membantu likuiditas perbankan yang tengah diterpa badai krisis global.[5]

Bantuan Likuiditas Perbankan Amerika Serikat
Krisis dunia perbankan yang disebabkan terjadinya subprime mortage crisiss yang mengakibatkan terjadinya credit crunch menyebabkan Pemerintah Amerika Serikat melalui department keuangannya mengeluarkan dana sebesar $ 700 miliar sebagai dana talangan guna menyelamatkan perekonomiannya.

Bailout ini memberikan wewenag pemerintah untuk mengambil alih investasi yang bermasalah. Departemen Keuangan Amerika Serikat sebagai otoritas berwenang untuk menentukan pembelian aset yang tidak bagus. Dana yang digunakan untuk membeli aset-aset tersebut sebesar $ 700 Miliar Dollar, dengan perincian :
$ 250 Miliar Dollar akan dikeluarkan pada awal program,
$100 Miliar Dollar memerlukan persetujuan Presiden,
$ 350 Miliar Dollar memerlukan persetujuan Kongress

Sebagai Imbalan bagi Pemerintah, maka Pemerintah AS akan menjadi pemilik saham diperusahaan yang mendapatkan dana talangan lebih dari $ 100 juta dollar AS. Pemerintah AS menetapkan aset yang boleh diselamatkan hanya milik warga AS dan dibeli sebelum tanggal 14 Maret 2008, sedangkan aset yang tidak diselamatkan adalah aset-aset yang dimiliki oleh asing. sebagai jaminannya jika Pemerintah merugi setelah 5 tahun, maka pemerintah akan memberikan pajak perusahaan untuk menutupi kerugian. Jika perusahaan yang menerima bantuan gagal, maka pemerintah akan menanggung kerugian. Pemerintah AS juga memberikan pembatasan pada perusahaan “Fat Cats” , yaitu perusahaan yang mendapatkan talangan lebih dari $ 300 juta harus dibatasi gaji, bonus untuk eksekutif.

Rencana Bailout ini hanya mengurangi tekanan penjualan portofolio, khususnya saham dan diharapkan kebutuhan likuiditas bisa dipenuhi dari penjualan surat utang Subprime Mortgage kepada Pemerintah. Tindakan penyelamatan ini sebagaimana yang dimaksud dalam Emergency Economic Stabilization Act of 2008 yang merupakan produk yang dikeluarkan oleh departmen keuangan yang telah di konsultasikan dengan dewan gubernur The Federal Reserve, The FDIC, The Controller of the Currency, dan The Director of The Office of thrift supervision adn the secretary of housing and urban development.[6]


[1] http://www.wordprees.com/, ”Krisis Financial (3): Menganalisa subprime mortage”
[2] Kompas 3 Oktober 2008, “Subprime Mortage dan Bailout”
[3] Ibid,
[4] http://www.bi.go.id/, “Peran BI dalam Stabilitas Keuangan”
[5] http://www.tempointeraktif.com/, 11 oktober 2008
[6] http://www.tempointeraktif.com/, sabtu 4 oktober 2008

Biaya Perkara di PN Jakarta Pusat

Penetapan Biaya Perkara Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/TPKOR dan Hubungan Industrial Jakarta Pusat No. W7.DC.HT.1813.III/2008.01 tanggal 24 Maret 2008 tentang Perincian Panjar Biaya Pendaftaran Perkara Perdata dan Perdata Niaga di Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/TPKOR dan Hubungan Industrial Jakarta Pusat

PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA
Biaya Permohonan 375.000,-
Biaya Gugatan 615.000,-
Biaya Banding 900.000,-
Biaya Kasasi 1.100.000,-
Biaya Peninjauan Kembali 3.250.000,-

BIAYA EKSEKUSI
Biaya Teguran/Aanmaning 600.000,-
Biaya Consignatie 600.000,-
Biaya Sita/Pencabutan Sita 600.000,-
Biaya Lelang 6.000.000,-
Biaya Pengosongan 7.000.000,-

PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA NIAGA
Biaya Permohonan Kepailitan, gugatan HAKI, dan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) 5.000.000,-
Biaya Penyitaan/Penyegelan 2.500.000,-
Biaya Permohonan Kasasi 6.500.000,-
Biaya Permohonan Peninjauan Kembali 11.550.000,-

Alur Perkara pada Mahkamah Agung

Alur Perkara pada Pengadilan Negeri