Jumat, 05 Desember 2008

PERADI VS KAI

PERADI VS KAI


Perseteruan PERADI [Perhimpunan Advokat Indonesia] dan KAI [Kongres Advokat Indonesia] semakin jauh dari penyelesaiannya. Keduanya mengklaim sebagai wadah tunggal Advokat yang sah yang dibentuk berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).

Perdebatan tentang wadah tunggal Avokat sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1963, saat para senior Advokat mendirikan Perhimpunan Advokat (Peradin). Mengapa para Advokat tidak bersatu dalam profesi Advokat yang mempunyai wadah tunggal sebagai konsekuensi para Advokat Pejuang Hukum tidak menopang berdirinya Negara Indonesia Merdeka yang sejak awal berbentuk negara Hukum? Bukankah Advokat Pejuang telah dibuktikan oleh Mr Sastro Muljono, Mr Ishak, Mr Maramis, Mr Moh Yamin, Loekman Wirijadinata, Yap Thian Hiem?

Bukankah Bung Hatta dibela oleh Advokat-advokat yang Genius tatkala diadili di Negeri Belanda? Bukankah Bung Karno dibela Indonesia Vriy oleh para Advokat anti kolonial tatkala memperjuangkan ide Indonesia merdeka dikenal sebagai ‘Indonesia Menggugat’? Bukankah kewajiban para Advokat mengisi kemerdekaan tatkala Negara telah didirikan dengan segala pengorbanan oleh Founding Fathers? Karenanya patut bersyukur bahwa kita telah memiliki Bapak-bapak Advokat yang telah membuktikan karya-karya nyatanya dalam perjuangan bangsa, negara dan tanah air.

Siapa “Organisasi Advokat” itu?
Sumber perdebatan tentang wadah tunggal organisasi advokat sebenarnya berpangkal pada Bab X UU Advokat yang mengatur tentang Organisasi Advokat. Persoalannya adalah bab yang terdiri dari tiga pasal tersebut (Pasal 28-30) tidak menjabarkan secara jelas “siapa” yang dimaksud dengan Organisasi Advokat. Menurut rumusan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Penjelasan pasal ini hanya mencantum rumusan “Cukup jelas”.

Ketidakjelasan rumusan tersebut membuat banyak pihak berspekulasi apakah yang dimaksud Organisasi Advokat tersebut adalah PERADI atau KAI atau ada nama lain? Menurut salah seorang pakar hukum perundang-undangan Maria Farida Indra Suprapto pada saat memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “kalau dilihat dalam Undang-Undang Advokat, ditekankan berulang-ulang paling sedikit 36 kata ”Organisasi Advokat”. Oleh karena itu, seharusnya yang terbentuk adalah Organisasi Advokat, sehingga menurut ahli tidaklah tepat jika sebutannya adalah Peradi”.

Pendapat tersebut mungkin terlalu sumir dan leterlecht. Namun UU Advokat juga tidak dapat memberikan formulasi yang jelas mengenai nama organisasi advokat yang dimaksud. Nampaknya UU Advokat ingin memberikan kebebasan kepada Advokat untuk menentukan nama organisasinya sendiri.

Bagaimana Mekanisme Pembentukan Organisasi Advokat?
UU Advokat tidak menentukan bagaimana mekanisme pembentukan organisasi advokat, apakah melalui sebuah musyawarah, kongres, atau mekanisme lainnya. Dalam Pasal 32 ayat (4) UU Advokat hanya ditentukan bahwa “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk”.

Ketentuan ini tentunya yang membuka potensi konflik antara PERADI dan KAI. Menurut KAI, pembentukan PERADI tidak sah, karena tidak dibentuk berdasarkan musyawarah nasional dan telah melewati batas waktu 2 tahun, yakni pada tanggal 5 September 2005. PERADI pun beralasan bahwa pembentukan KAI pun tidak sah, karena pembentukannya tidak melalui 8 organisasi advokat yang termaktub dalam UU Advokat dan melebihi batas waktu yang ditentukan UU Advokat, yakni 31 Mei 2008.

Berdasarkan Akta Pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia No. 30 tanggal 8 September 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Buntario Tigris Darmawa Ng, SE., SH., MH. (“Akta Pendirian”), PERADI terbentuk pada tanggal 21 Desember 2004, bukan pada 5 September 2005 sebagaimana dituduhkan KAI. Dengan demikian, syarat 2 tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 32 ayat (4) UU Advokat telah dipenuhi oleh PERADI.

Disamping itu, berdasarkan Pasal 32 ayat (3) UU Advokat, sebelum terbentuknya Organisasi Advokat, untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Apabila dikaitkan dengan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembentukan organisasi advokat harus dilakukan oleh 8 organisasi advokat. Dengan demikian, pembentukkan PERADI pun telah sah, karena Akta Pendirian PERADI telah dibuat oleh 8 organisasi advokat yang mendapat mandat dari UU Advokat.

Putusan Mahkamah Konstitusi
Eksistensi PERADI semakin diakui pasca keluarnya Putusan MK No.014/PUU-IV/2006. Permohonan pembatalan Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat yang diajukan oleh H. Sudjono, S.H, Drs. Artono, S.H., M.H., dan Ronggur Hutagalung S.H., M.H. dari IKADIN ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam Putusan MK No. 014/PUU-IV/2006 halaman 57, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai berikut: “bahwa Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Selain itu, Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada Mahkamah yang oleh Mahkamah dalam Putusannya Nomor 019/PUU-I/2003 telah dinyatakan ditolak”.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebenarnya telah jelas bahwa PERADI adalah satu-satunya wadah/organisasi Advokat yang dibentuk berdasarkan UU Advokat. Oleh karenanya, mengkhawatirkan keberadaan KAI sebagai competitor PERADI adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi, Mahkamah Agung RI sudah menerbitkan edaran nomor 07/SEK/01/I/2007 tanggal 11 Januari 2007 tentang kewajiban penggunaan Kartu Tanda Pengenal Advokat PERADI untuk berpraktik di Pengadilan.


Wahyu Gumilar
BUDIDJAJA & ASSOCIATES

Senin, 01 Desember 2008

Religious freedom is not without limits

Religious freedom is not without limits

Sigit Ardianto , New York | Tue, 11/25/2008 11:26 AM | Opinion

Indonesia has a unique position in today's civilization. As a country with the largest Moslem population in the world -- encompassing 86.1 percent of the total Indonesian population of more than 230 million -- Indonesia is also the third largest democratic country in the world after India and the United States.

The absence of any reference to Islam in the 1945 Constitution shows that Indonesia is open to all religions besides Islam. This is emphasized by Article 29 (2) of the 1945 Constitution which states that, "The state guarantees each and every citizen the freedom of religion and of worship in accordance with his religion and belief", which is reinforced with Article 28E paragraph (1 ). This religious freedom clause is symmetrical with the guarantee given by the First Amendment of the Constitution of the United States, which stipulates, among others, the following: "Congress shall make no law respecting an establishment of Religion, or prohibiting the free exercise thereof ...."

In the context of religious freedom in the United States, the First Amendment means that not only is its government prohibited from limiting religious freedom, it is also forbidden to endorse a particular religion. Prohibition in the sentence, "Congress shall make no law respecting an establishment of Religion ..." is better known as the nonestablishment principle. This clause is what distinguishes Indonesia from the United States, i.e., Indonesia's 1945 Constitution does not prohibit its government from supporting a particular religion. However, this provision also places Indonesia in between secular and theocracy poles, with the pendulum swinging still.

Disputes arise when we are required to provide limits on the extent to which religious freedom is guaranteed. When the Ahmadiyah case surfaced, the question which had been limited to academia and liberal activists spread to all levels of society.

One of the central teachings of the Ahmadiyah (mainstream) is a recognition of Mirza Gulam Ahmad as a prophet (irrespective of their defense on this). These teachings are considered contrary to the teachings of Islam in which the Prophet Mohammed is the last prophet. Ahmadiyah's claim therefore caused restlessness in the society, and for some people, constituted an insult to Islam because (as if) it does not recognize Mohammed as the last prophet.

In response to this issue, which has escalated into horizontal conflicts in some regions -- including Jakarta -- the government (finally) intervened and issued the Ahmadiyah Joint Decree, but the decree itself shows that the government bowed to negative public opinions about Ahmadiyah.

The Ahmadiyah Joint Decree raised the question as to whether or not there is a limit to a guarantee of religious freedom. The answer will only be known when we look at an extreme example. For example, many countries will not protect religious teachings which include human sacrifice or invite its followers to commit suicide.

Restrictions on freedom of religion have actually been given in the 1945 Constitution, Article 28J Paragraph (2), which states, "In exercising their rights and freedom, every person is subject to limitation set by law with the purpose of solely to guarantee the recognition and respect over the rights and freedoms of others and to meet the demands of justice in accordance with morality, religious values, security and public order in a democratic society."

Following the seemingly prevailing argument on limitations, the defenders of religious freedom can also argue that the government should not issue policies that limit the rights of particular religious groups to protect the religious feelings of others (although a majority) as in the case of the Ahmadiyah Joint Decree.

However, as mentioned above, our current Constitution does not prohibit the government from making a policy that favors or supports a particular religion that may have a side effect of "limiting" other religions or beliefs, as shown by the Ahmadiyah Joint Decree.

Constitutionally, religious freedom in Indonesia can be restricted.

The writer is Master in Law Candidate, Comparative Legal Thought Program at Cardozo School of Law, New York.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2008/11/25/religious-freedom-not-without-limits.html

Kamis, 27 November 2008

BANTUAN LIKUIDITAS PERBANKAN

posted by richiaprian, richiaprian.blogspot.com


Pengantar
Black law dictionary memberikan pengertian bahwa “Mortage is an interest in land created by a written instrument providing security for the performance of a duty or the payment of a debt” atau dapat kita simpulkan bahwa mortage merupakan suatu instumen hutang antara peminjam dan pemberi pinjaman yang didalamnya terdapat suatu penyerahaan mengenai hak atas benda.

Pada dasarnya Mortage terbagi menjadi prime mortage dan subprime mortage[1] . Yang membedakan antara keduanya terletak pada resiko, dimana resiko pada subprime mortage lebih besar sehingga dikenakan tingkat bunga yang juga lebih besar bila dibandingkan dengan prime mortage.

Amerika Serikat pada tahun 2001-2004 mengambil kebijakan penerapan suku bunga bank central yang rendah pada posisi 1-1,75 persen[2]. Sehingga pemberian kredit perumahan mengalami masa-masa emasnya. Sayangnya pihak mortage lenders mengenyampingkan prinsip 5 C dalam memberikan kreditnya dengan pandangan bila gagal bayar lender tinggal melakukan penyitaan dan menjual kembali rumah yang dikreditkannya. Dan untuk mendanai kredit tersebut, Lender pada umumnya meminjam pada pihak lain dananya sebagai pinjaman jangka pendek sedangkan kredit yang diterbitkan lender adalah pinjaman jangka panjang. sehingga pada pertengahan 2004, bank central Amerika Serikat meningkatkan tingkat suku bunga hingga pada agustus 2007 tingkat suku bunga menjadi 5,25%[3]. Kenaikan ini mengakibatkan terjadinya gagal bayar secara besar-besaran pada kredit perumahan, sehingga lender pun gagal membayar hutangnya kepada pihak ketiga. Sedangkan aset rumah yang disita tidak mudah untuk dijual kembali. Hal ini diperburuk dengan tindakan pihak ketiga yang melikuidasi investasinya sehingga terjadinya Credit Crunch pada saat lender juga membutuhkan likuidasi. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai penyebab utama terjadinya krisis subprime mortage.

Krisis subprime mortage di Amerika Serikat telah menelantarkan banyak pihak. Indeks saham yang diperdagangkan mengalami kemerosotan, terjadinya kredit macet di sektor perumahan dan instrumen efek beragun aset di pasar keuangan pun mengalami kemerosotan tidak hanya di Amerika tetapi juga di kawasan Eropa dan Asia khususnya Jepang karena perbankan jepang sangat agresif dalam berinvestasi pada produk yang mempunyai pasar luas di Amerika Serikat.

Efek global ini lah yang mengakibatkan negara-negara dunia mengambil langkah-langkah bantuan likuiditas di sektor perbankan, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, kita akan melakukan perbandingan antara langkah bantuan likuiditas yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat.

Bantuan Likuiditas Perbankan Indonesia
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, tidak hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan perbankan dan sistem pembayaran.
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah[4]:

Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut Inflitation targeting framework.

Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.

Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.

Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.

Dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort. Bank Indonesia memberikan bantuan likuidasi bank indonesia atau yang lebih sering dikenal dengan BLBI guna membantu bank-bank umum yang tidak memenuhi giro wajib minimumnya dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia.

Pada saat krisis moneter tahun 1997-1998, Bank Indonesia menyalurkan BLBI mencapai Rp 144,54 Triliun yang dikategorikan menjadi beberapa kebijakan, yaitu :
1. BLBI ditujukan untuk mengatasi kesehatan likuiditas bank, yaitu saldo debet, SBPUK, dan fasilitas diskonto sebesar Rp. 129,40 Triliun,
2. Dalam rangka pembayaran seluruh sisa dana masyarakat pada 116 bank dalan Likuidasi dan Beku Operasi sebesar Rp. 6,015 Triliun,
3. BLBI merupakan dana talangan untuk pembayaran tunggakan trade finance kepada kreditur luar negeri sebesar Rp. 9,13 Triliun.

Bagi bank-bank yang tidak sehat, sebagai upaya penyelamatannya diupayakan untuk digabung, akuisisi ataupun merger dengan bank-bank yang sehat. Sedangkan untuk bank-bank yang sehat akan dibantu oleh pemerintah dalam menyediakan likuiditasnya.

Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam kerangka JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada prinsipnya Departemen Keuangan bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.

Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang JPSK yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.

Menghadapi krisis sektor perbankan saat ini, Bank Indonesia menurut Miranda S Gultom selaku Deputi senior Gubernur Bank Indonesia menyatakan bahwa BI telah menyiapkan liqiuduty support yang dapat digunakan sebagai sarana penyelamatan sector perbankan di Indonesia. Dan juga dengan memberikan kelonggaran melalui peraturan bank Indonesia yang merubah giro wajib minimum BI juga akan memperluas repurchase agremeent (repo) surat berharga, yang berupa surat utang negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Aturan itu juga memperkuat fungsi bank sentral sebagai the lender of the last resort guna membantu likuiditas perbankan yang tengah diterpa badai krisis global.[5]

Bantuan Likuiditas Perbankan Amerika Serikat
Krisis dunia perbankan yang disebabkan terjadinya subprime mortage crisiss yang mengakibatkan terjadinya credit crunch menyebabkan Pemerintah Amerika Serikat melalui department keuangannya mengeluarkan dana sebesar $ 700 miliar sebagai dana talangan guna menyelamatkan perekonomiannya.

Bailout ini memberikan wewenag pemerintah untuk mengambil alih investasi yang bermasalah. Departemen Keuangan Amerika Serikat sebagai otoritas berwenang untuk menentukan pembelian aset yang tidak bagus. Dana yang digunakan untuk membeli aset-aset tersebut sebesar $ 700 Miliar Dollar, dengan perincian :
$ 250 Miliar Dollar akan dikeluarkan pada awal program,
$100 Miliar Dollar memerlukan persetujuan Presiden,
$ 350 Miliar Dollar memerlukan persetujuan Kongress

Sebagai Imbalan bagi Pemerintah, maka Pemerintah AS akan menjadi pemilik saham diperusahaan yang mendapatkan dana talangan lebih dari $ 100 juta dollar AS. Pemerintah AS menetapkan aset yang boleh diselamatkan hanya milik warga AS dan dibeli sebelum tanggal 14 Maret 2008, sedangkan aset yang tidak diselamatkan adalah aset-aset yang dimiliki oleh asing. sebagai jaminannya jika Pemerintah merugi setelah 5 tahun, maka pemerintah akan memberikan pajak perusahaan untuk menutupi kerugian. Jika perusahaan yang menerima bantuan gagal, maka pemerintah akan menanggung kerugian. Pemerintah AS juga memberikan pembatasan pada perusahaan “Fat Cats” , yaitu perusahaan yang mendapatkan talangan lebih dari $ 300 juta harus dibatasi gaji, bonus untuk eksekutif.

Rencana Bailout ini hanya mengurangi tekanan penjualan portofolio, khususnya saham dan diharapkan kebutuhan likuiditas bisa dipenuhi dari penjualan surat utang Subprime Mortgage kepada Pemerintah. Tindakan penyelamatan ini sebagaimana yang dimaksud dalam Emergency Economic Stabilization Act of 2008 yang merupakan produk yang dikeluarkan oleh departmen keuangan yang telah di konsultasikan dengan dewan gubernur The Federal Reserve, The FDIC, The Controller of the Currency, dan The Director of The Office of thrift supervision adn the secretary of housing and urban development.[6]


[1] http://www.wordprees.com/, ”Krisis Financial (3): Menganalisa subprime mortage”
[2] Kompas 3 Oktober 2008, “Subprime Mortage dan Bailout”
[3] Ibid,
[4] http://www.bi.go.id/, “Peran BI dalam Stabilitas Keuangan”
[5] http://www.tempointeraktif.com/, 11 oktober 2008
[6] http://www.tempointeraktif.com/, sabtu 4 oktober 2008

Biaya Perkara di PN Jakarta Pusat

Penetapan Biaya Perkara Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/TPKOR dan Hubungan Industrial Jakarta Pusat No. W7.DC.HT.1813.III/2008.01 tanggal 24 Maret 2008 tentang Perincian Panjar Biaya Pendaftaran Perkara Perdata dan Perdata Niaga di Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/TPKOR dan Hubungan Industrial Jakarta Pusat

PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA
Biaya Permohonan 375.000,-
Biaya Gugatan 615.000,-
Biaya Banding 900.000,-
Biaya Kasasi 1.100.000,-
Biaya Peninjauan Kembali 3.250.000,-

BIAYA EKSEKUSI
Biaya Teguran/Aanmaning 600.000,-
Biaya Consignatie 600.000,-
Biaya Sita/Pencabutan Sita 600.000,-
Biaya Lelang 6.000.000,-
Biaya Pengosongan 7.000.000,-

PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA NIAGA
Biaya Permohonan Kepailitan, gugatan HAKI, dan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) 5.000.000,-
Biaya Penyitaan/Penyegelan 2.500.000,-
Biaya Permohonan Kasasi 6.500.000,-
Biaya Permohonan Peninjauan Kembali 11.550.000,-

Alur Perkara pada Mahkamah Agung

Alur Perkara pada Pengadilan Negeri


Rabu, 17 September 2008

Daftar Penyuap & yang Disuap

Daftar pejabat negara yang terlibat suap dan penyuapnya yang pernah berurusan dengan KPK:
  1. Tangkapan terbesar KPK untuk pertama kalinya adalah Mulyana W Kusumah, saat itu anggota KPU. Mulyana terbukti menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman Rp 300 juta. Mulyana dihukum 2 tahun 7 bulan dan saat ini telah menikmati udara bebas.

  2. Pada 2005, KPK menangkap tangan Tengku Syaifuddin Popon, salah seorang kuasa hukum Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh, dan Wakil Ketua Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Syamsu Rizal Ramadhan dengan barang bukti Rp 250 juta. Turut diadili juga panitera Mochammad Sholeh. Dalam banding mereka ke pengadilan tinggi, mereka terkena 2 tahun 8 bulan.

  3. Harini Wijoso, pengacara pengusaha Probosutedjo. Pensiunan hakim ini terbukti menyuap pejabat MA senilai Rp 4,8 miliar untuk mempermudah kasus kliennya. Harini divonis 4 tahun.

  4. AKP Suparman, penyidik KPK ini terbukti menerima suap dari Tintin Surtini senilai Rp 439 juta dan US$ 300 saat menyidik kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Suparman divonis 8 tahun.

  5. Irawady Joenoes, komisioner Komisi Yudisial (KY), diduga menerima Rp 600 juta dan US$ 30 ribu dari Freddy Santoso, rekanan KY. Irawady divonis 8 tahun, lalu dikorting pengadilan tinggi menjadi 6 tahun.

  6. Jaksa Urip Tri Gunawan dibekuk pada 2 Maret 2008. Ini adalah kasus suap tertinggi yang ditangani KPK. Barang buktinya adalah Rp 6,1 miliar. Urip divonis 20 tahun penjara, vonis tertinggi yang pernah dijatuhkan Pengadilan Tipikor.

  7. Artalyta Suryani, penyuap jaksa Urip, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.

  8. Bulyan Royan, anggota DPR dari Fraksi Bintang Reformasi ditangkap KPK di Plaza Senayan pada 30 Juni 2008 sekitar pukul 17.30 WIB. KPK mengamankan barang bukti berupa uang tunai senilai 60.000 dollar AS dan 10.000 euro. Anggota Komisi V ini diduga terlibat suap pengadaan kapal patroli laut Dephub.

  9. Penyuap Bulyan Royan, pengusaha perkapalan Dedi Suwarsono pekan ini menjalani sidang perdana.

  10. Al Amin Nasution diciduk pada 9 April 2008 di Hotel Ritz Carlton, Kuningan. Anggota DPR Komisi IV ini mengamankan barang bukti uang sejumlah hampir Rp 71 juta dalam kasus alih fungsi hutan lindung menjadi ibukota Kabupaten Bintan.
    Saat ini Al Amin sedang disidang. Jakwa mendakwa suami pedangdut Kristina itu menerima suap dari Sekretaris Daerah Bintan Azirwan sebesar Rp 250 juta serta 150 ribu dolar Singapura. Al Amin juga menerima tiga cek perjalanan senilai Rp 25 juta dalam kasus pelabuhan Tanjung Api-api. Dia juga didakwa memeras PT Almega Geosystem sebesar Rp 1,2 miliar dan PT Data Script Rp 286 juta.

  11. Penyuap Al Amin yaitu Sekda Kabupaten Bintan Azirwan divonis 2,5 tahun dan denda Rp 100 juta.

  12. Anggota KPPU M Iqbal dibekuk dengan barang bukti Rp 500 juta.

  13. Dirut First Media (kelompok Lippo Group) Billy Sindoro yang diduga menyuap M Iqbal turut diciduk.